Wednesday 20 January 2016

Untuk Ibu

Ibu…
Ini aku, anak perempuanmu yang telah tumbuh besar namun ternyata belum menjadi wanita dewasa yang kuat.
Aku kini sama sepertimu sudah bisa mendapatkan lembaran rupiah dari keringat sendiri, namun nyatanya aku belum bisa membuatmu bahagia dan memenuhi segala keinginanmu.
Ibu…
Masih ingat saat dengan sekuat hati bibir lembutmu melarang aku untuk tidak usah memiliki kekasih sampai pendidikan S1 ku selesai, tapi dengan keras kepala aku melanggarnya dan berjalan dengan lawan jenis tanpa sepengetahuanmu. Maafkan aku untuk hal satu ini, Bu.
Saat ini, untuk pertama kalinya akhirnya aku berani untuk memperkenalkan seorang pria padamu.
Ibu…
Aku tau kekhawatiran mu pada anak gadis pertamamu tak bisa disembunyikan. Sampai ketika aku meminta izin untuk menghabiskan satu hari bersama priaku, sejuta nasehat terucap dari bibirmu, dan aku hanya mengangguk tanda setuju. Sampai suatu ketika satu bulan lamanya priaku tidak mengunjungiku, rasa cemas terpancar dari matamu, berulang kali pertanyaan yang sama menanyakan alasan mengapa priaku tak menemuiku. Aku tau ini merupakan bukti bahwa tidak boleh ada satu priapun yang melukai hati anak perempuanmu ini. Padahal nyatanya dalam sebulan priaku ini sudah menemuiku, hanya saja aku tak menceritakannya padamu. Lagi-lagi maafkan aku, Bu.
Tapi Bu…
Nyatanya aku masih seperti dahulu, anak perempuan kecil yang cengeng. Aku masih selalu menangis diam-diam di belakangmu setiap kali priaku menggoreskan sedikit luka di hati ini. Aku masih saja menitikan air mata setiap kali priaku meruntuhkan kepercayaanku. Ingin aku memelukmu menumpahkan segala kegusaran ini, tapi aku malu Bu. Karena aku terlanjur berucap kalau priaku ini baik dan tidak mungkin membuat aliran sungai di pipiku.
Ibu…
Terkadang aku lelah, hasrat menggebu-gebu ingin bisa segera membangun kehidupan mandiri bersama priaku seakan sirna dalam sekejap. Aku masih ingin lebih lama menjadi anak perempuanmu yang manja, yang selalu dituruti apapun keinginannya.
Ibu…
Ajarkan aku menjadi perempuan tangguh sepertimu. Aku tau lelah yang saat ini aku rasa hanya sebagian kecil kerikil yang harus aku lalui. Terimakasih sudah sudi menerima priaku untuk mengisi hati anakmu ini, dan maaf karena mungkin priaku ini masih jauh dari kata ideal untuk menjadi menantumu.

Bandung (dalam derasnya guyuran hujan), 28122015

No comments:

Post a Comment